122 KB – 30 Pages

PAGE – 1 ============
127Jurnal The Politics This paper seeks to analyze how the contribution of Disability Social Movements in Indonesia to improve the quality of the future elections. The author is one of the organizers of this movements and follow the processes of disabled community organizing during the elections in four regions: Makassar (South Sulawesi), Balikpapan (East Kalimantan), Bantul (Yogyakarta), and Situbondo (East Java). Two things that are the focus of my analysis are the results of a survey on the perception of legislative candidates in 4 regions and election monitoring by Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) and its partners (Disabled people Organizations in a number of districts). The results of this survey and monitoring both contribute to the political science, especially in introducing Disability Perspectives in Electoral and Party Systems. In the present of political science study in Indonesia, scientists are relatively still do not understand yet the disability perspective in their efforts to develop a disability-based research methods and further designing a number of political instruments, in particular the way a difabel choosing political actors who cares for the disabled intersets and designing election models. The survey results indicate that the capacity of knowledge and experience the legislators candidate on the issue of disability is knowledge of disability through cooperation between political parties and organizations with a disability principal approach – agency. While the results of the election monitoring conducted by disabled people organizations have contributed to the explanation of Ishak SalimUniversitas Teknologi Sulawesi

PAGE – 2 ============
128Vo. 1 No. 2 Juli 2015 how the election should take place and to accommodate the interests of voters with disabilities. Exposure results of this research and monitoring simultaneously aims to improve the quality of parliamentarians, election administration, and the electoral system so that political practice can take place in inclusion and more meaningful. perspektif disabilitas, pemilihan umum, inklusi, difabel, organisasi difabel P Samarinda mendatangi Kantor KPU Provinsi Kalimantan Timur untuk memberi masukan soal Pemilu Inklusif. Di antara mereka ada yang menggunakan kursi roda, kruk, dan tongkat. Rupanya kantor KPUD Kalimantan Timur sebagaimana juga di banyak kantor KPU daerah di Indonesia tidak aksesibel bagi mereka. Untuk memasuki kantor itu, pengguna kursi roda harus turun dan merangkak sekadar melewati tiga anak tangga. Ia berhasil tanpa perlu dipapah walaupun terpaksa menjadi bahan tontonan. Namun begitu disadarinya ruang Komisioner KPU ada di lantai dua, ia menyerah dan memilih dipapah hingga ke ruang Pak Ketua. Bagi pengguna kursi roda, berjalan dengan dipapah adalah bentuk ketidakberdayaan dan hal itu menunjukkan betapa lingkungan memang telah mendiskriminasikan dirinya.Tahun lalu, saat pemilihan Walikota berlangsung di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pemilih difabel netra menemui sejumlah kendala. Template Braille atau alat bantu mencoblos bagi pemilih difabel netra yang disediakan penyelenggara pemilu menimbulkan sejumlah kebingungan. Sistem penomoran braille itu tak terbaca dengan baik saat pemilih menggunakannya. Pemilih tak template braille yang dibuat tanpa berkonsultasi dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) itu sia-sia dan pemilih difabel netra terpaksa didampingi pihak lain dan kerahasiaan pilihannya menjadi tak sepenuhnya terjamin.Difabel Rungu-wicara juga punya sejumlah pengalaman yang menunjukkan betapa prosedural pemilu mengabaikan kebutuhan atau kepentingan mereka. Saat gencar-gencarnya kampanye calon legislator dan calon presiden melalui media massa, khususnya radio, televisi dan internet, tak ada satupun media yang menyediakan penterjemah bahasa isyarat dalam pertemuan tersebut. Belum lagi soal Manual Pemilu dan segala informasi berkaitan dengan tugas dan fungsi KPU maupun Bawaslu hingga jajarannya yang masih abai pada kebutuhan pemilih difabel seperti difabel rungu-wicara.Dalam pemberitaan harian Kompas 1 pada akhir Juli 2013 disebutkan bahwa perwakilan politik difabel. Berdasarkan temuan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang Ketiadaan data ini dalam alam demokrasi merupakan urusan yang serius. Bagi pemilih difabel netra misalnya, hak politik mereka untuk memilih kandidat pilihannya terpaksa tak bisa digunakan lantaran tidak adanya ‚alat bantu mencoblos™ (braille template) yang disediakan penyelenggara pemilu. Sementara itu, bagi difabel daksa, lokasi tempat pemungutan suara (TPS) yang menyulitkan mereka untuk datang sudah cukup membuat mereka pada akhirnya menolak ke TPS. 1http://nasional.kompas.com/read/2013/07/30/2245368/Hak.Politik.Penyandang.Disabilitas.yang.Dibung- kam.

PAGE – 3 ============
129Jurnal The Politics (JPPR) di dalam diskusi di Hotel Kempinski, Jakarta, Selasa (30/7/2013) dengan gusar menyatakan, fiIndonesia masih belum ramah terhadap difabel. Dari lima daerah yang kami survei, dua daerah, yakni Tangerang dan Pangkal Pinang, tidak punya sama sekali template braille . itu.flPada pemilukada putaran pertama di DKI Jakarta, KPU setempat sama sekali tidak menyediakan template braille bagi pemilih difabel netra. Nanti setelah memperoleh teguran keras dan dibimbing oleh organisasi difabel, pihak KPU DKI Jakarta akhirnya menyediakan kertas suara huruf braille di putaran kedua. Selain itu, bagi pemilih difabel daksa nasibnya setali tiga uang. Posisi TPS hingga kini masih dinilai tidak membuat akses bagi difabel. Seharusnya TPS itu dilengkapi dengan jalan atau titian khusus (rampa) pengguna kursi roda dan bentuk bilik suara yang luas agar nyaman dalam memilih.Ketidakpahaman para penyelenggara pemilu dalam memberikan informasi hingga pada saat hari pemungutan suara juga menjadi perhatian JPPR. fiDi beberapa tempat, bagi difabel, mereka memilih di rumahnya sendiri dengan didatangi petugas. Tetapi, di situ tidak ada kerahasiaan, kertas suara dibuka begitu saja di meja untuk dipilih difabel. Padahal, prinsip utama pemilu adalah langsung, umum, bebas, rahasia.Gambaran di atas menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu di Indonesia memang masih memiliki kelemahan dalam mengokomodir kepentingan seluruh rakyat Indonesia dengan berbagai karakteristik, khususnya bagi difabel. Padahal, dari segi kuantitas, jumlahnya cukup tinggi. General Election for Disability Access dunia mencapai 15 persen dari total jumlah penduduk. Sementara itu, jumlah difabel di kawasan Susenas 2003 jumlahnya diperkirakan 2.454.359 jiwa (lihat ‚analisis situasi difabel di indonesia: sebuah desk-review ™, FISIP UI, 2010). Namun, di luar sejumlah ‚cacat demokrasi™ ini, setidaknya Indonesia merupakan salah membahas sebuah Rancangan Undang-Undang Tentang Disabilitas. Masih dalam pemberitaan Harian Kompas, pada akhir Juli 2013 Husni Kamil, Ketua Komisi Pemilihan Umum menunjukkan kerisauan atau lebih tepat kegamangannya dalam melaksanakan pesta demokrasi dengan pelibatan penuh difabel. Ia mengharapkan perlunya mendiskusikan lebih jauh soal-soal teknis pelaksanaan Pemilu. Misalnya, soal tuntutan penyediaan kertas suara berhuruf braille dalam setiap pemilihan umum. Pada Pemilu 2014, ujarnya, dalam satu lembar kertas suara bisa ada 144 calon anggota legislatif untuk pemilihan anggota DPR saja.fiBayangkan kalau kertas suara pemilu legislatif dijadikan huruf braille, [jika setiap partai politik mengajukan 12 calon legislatif untuk kursi DPR di tiap daerah pemilihan, penulis] kita perlu mendiskusikan lagi lebih jauh, model kertas surat suara apa yang pas untuk difabel,fl ujar Ketua KPU.Tidak begitu jelas siapa pihak yang Pak Ketua KPU rujuk membikin bingung. Bagi pemilih difabel netra kertas suara dengan template Braille jelas memudahkan. Jika yang dibuat bingung

PAGE – 4 ============
Vo. 1 No. 2 Juli 2015 adalah para pihak penyelenggara Pemilu maka di sinilah pentingnya melibatkan mitra organisasi difabel secara maksimal dalam merancang sistem pemilihan yang aksesibel bagi seluruh ragam pemilih difabel baik untuk DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota pihak KPU tidak kebijakan pusat dan mengambil kebijakan diskresi untuk menyediakan braille template dengan People with Disabilities). Pemilu inklusif memang mensyaratkan pengetahuan akan segala hal berkaitan dengan isu disabilitas dari penyelenggara. Di sinilah letak pentingnya kehadiran sejumlah pemilih difabel yang kini begitu aktif masuk ke ruang-ruang formal Pemilu 2014 lalu untuk berdiskusi dengan penyelenggara pemilu di setiap tingkatan di banyak daerah. Tujuannya adalah mengajarkan kepada bangsa ini betapa perspektif disabilitas amat penting dalam pemilu. Penting karena perspektif ini berisi fisisi manusiawifl dari sebuah sistem pemilihan atau sistem politik secara lebih luas. Jika perspektif ini berhasil ditanamkan kepada para penyelenggara sampai kepada para peserta pemilu, dan diterapkan di ranah praktis, maka pemilu ini menjadi akses bagi semua orang, bahkan tak hanya bagi kaum difabel sendiri.Pelaksanaan pemilu 2014 menyimpan sejumlah soal dalam perspektif dan pengalaman pemilih difabel. Dalam pengalaman sejumlah pemilih difabel (sebagaimana dipaparkan sebagian dalam pendahuluan tulisan ini) yang tergabung di dalam organisasi-organisasi difabel di 4 daerah dalam pengorganisasian tersebut, sejumlah permasalahan dalam pemilu ditemukan dan diupayakan mulai dari tahap pendataan pemilih sampai pada penyelesaian pemilu. 2 yang peduli pada isu-isu disabilitas dan merupakan gerbong utama dalam mendorong gerakan hak-hak disabilitas di Indonesia (disability rights movements). pemilihan umum di masa-masa yang akan datang. Dua kegiatan itu adalah penelitian dengan metode survei perspesi calon anggota legislator tentang isu-isu disabilitas dan pemantauan pemilu legislatif 2014. Sejumlah temuan dan pengalaman ini akan diuraikan lebih lanjut setelah pemaparan berbagai perspektif teoritis tentang disabilitas dan bagaimana perspektif disabilitas itu berkontestasi dalam konteks Indonesia. Tulisan akan ditutup dengan sejumlah rekomendasi kepada pihak-pihak yang berkontribusi untuk terjadinya sejumlah pembenahan terkait pelaksanaan pemilihan umum berikutnya. Disabilitas dan pengetahuan terkait disabilitas adalah eksis dalam realitas sosial kita (Huber & Gillaspy, 1998, hal. 190). Banyak bidang akademik telah bersandar pada persamaan antara 2 -bel di tingkat daerah, penelitian dengan metode survei tentang persepsi calon legislator terkait isu-isu disabilitas di 4 daerah, dialog organisasi difabel lokal dengan KPU dan Panwaslu setempat di 4 daerah, dialog pemilih difabel dengan calon legislator di 4 daerah dan membangun kontrak politik, pemantauan pemilu di 4 daerah dan serangkaian diskusi publik pengawalan kinerja anggota legislator terpilih.

PAGE – 5 ============
131Jurnal The Politics ‚disabilitas™ dengan ‚orang cacat™, membuat seorang difabel tampaknya menjadi sekadar masalah atau bahkan diabaikan. Sosiolog, misalnya, biasanya mengabaikan aspek disabilitas atau hanya mempelajarinya sebagai sesuatu yang eksotis (Barton, 1996). Ketika disabilitas dipelajari dan dibahas secara teoritis, seringkali dengan cara yang ofensif (Hahn, 1997), karena banyak peneliti melihat seorang difabel hanya dalam hal kondisi biologis dan menyimpulkannya sebagai orang tentang disabilitas sebagai cerminan dan [justru] mengabadikan mitos sosial yang negatif dan stereotip terhadap difabel (Kitchin, 2000; Stone & Priestly, 1996). Mengingat bahwa disabilitas dapat dipelajari dari berbagai perspektif yang berbeda, seperti aspek pembangunan manusia, 2001) maka kegagalan memahami disabilitas selama ini dapat diperbaiki demi tatanan sosial yang lebih baik bagi semua orang.Penelitian tentang disabilitas telah menghasilkan sejumlah perspektif teoritis untuk mencoba menjelaskan makna disabilitas dalam masyarakat. Beberapa perspektif ini mendekati aspek disabilitas sebagai isu medik, isu sosial, isu ekonomi, dan isu postmodern. Dalam masyarakat maupun dalam penelitian soal kemasyarakatan, disabilitas, dan disabilitas tersebut sering dianggap sebagai murni masalah medik yang dapat dan harus dirawat. Perspektif medis menekankan bahwa disabilitas adalah terkait ‚fungsi biologis™ atau atau seorang dengan disabilitas ( person with disabilities) sepenuhnya terkait dengan individu difabel, terlepas dari faktor-faktor eksternal diri difabel. Perspektif ini juga biasanya disebut sebagai perspektif perspektif konservatif. Perspektif ini memandang bahwa persoalan yang disebabkan oleh ‚disabilitas™ dianggap berada dan bersumber dalam diri individu tersebut dan terlepas dari konteks adalah untuk menemukan obat medis demi menyembuhkan fikecacatannya™. Secara bersamaan, perspektif ini fokus pada disabilitas sebagai sebuah masalah yang dapat ditangani melalui kemajuan medis dan teknologi (Switzer, 2003). Gerakan eugenika ( The eugenics movement) adalah salah satu contoh yang mengagungkan pendekatan medis klasik dalam memandang disabilitas.Penekanan medis ini telah berdampak besar pada cara masyarakat luas dalam yang terkenafl (Huber & Gillaspy, 1998, hal. 201). Perspektif medis telah membentuk banyak melalui pendekatan dan melalui terminologi serta mendorong hadirnya persepsi negatif terhadap difabel.fiBahasa medis soal disabilitas atau fikecacatanfl kemudian segera menjadi ‚bahasa penghinaan™ secara sosial dan istilah ‚yang menghinakan™ ini–seperti si buntung, si pincang, si buta, si pengkor, si idiot, si autis, dst–kemudian telah kehilangan konotasi medisnya secara asali dan bahkan menjadi alat budaya untuk mendevaluasi dan meminggirkan kelompok masyarakat tertentufl (Christensen, 1996, hal. 64). Pandangan-pandangan budaya yang telah melekat dari perspektif medis ini juga meluas ke lembaga-lembaga sosial. Bahkan kemudian, kebijakan- kebijakan tertulis tentang kecacatan atau disabilitas dari lembaga-lembaga sosial ficenderung menawarkan pembenaran atas status quo tersebutfl (Riddell, 1996, hal. 83).

PAGE – 6 ============
132Vo. 1 No. 2 Juli 2015 menghinakan™ ini yang lahir dari perspektif medis, sejumlah ilmuan yang mempelajari isu-isu disabilitas kemudian membuat sejumlah perspektif lain demi mencoba lebih memahami isu disabilitas dalam masyarakat. Perspektif ini muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan fiilmuan mainstreamfl demi mempelajari dan mendiskusikan isu disabilitas secara memadai dalam masyarakat (Bowman & Jaeger, 2003). Perspektif sosial tentang disabilitas menegaskan bahwa fikecacatan atau disabilitas adalah hasil dari [pola] pengaturan sosial yang bekerja untuk membatasi kegiatan ‚difabel™ berpartisipasi]fl (Thomas, 1999, hal. 14). mental seseorang mempengaruhi berfungsinya diri mereka dalam suatu lingkungan dan harapan memandang disabilitas seseorang (dan bukan kecacatannya) lebih sebagai akibat dari faktor eksternal yang dikenakan pada seseorang daripada sekadar fungsi biologis difabel itu. Perspektif sosial memungkinkan kita untuk melihat disabilitas sebagai efek dari lingkungan [eksternal] yang tidak bersahabat bagi sejumlah bentuk tubuh dan bukan hal yang lain, [dan untuk itu] difabel lebih membutuhkan kemajuan dalam keadilan sosial dan bukan dalam kemajuan kedokteran (Siebers, 2001, hal. 738). Keyakinan-keyakinan dan fungsi-fungsi sosial yang kemudian meminggirkan dan melemahkan peran difabel dapat dilihat sebagai hambatan untuk hidup sepenuhnya bersandar pada [jenis] kemampuan mereka. Perspektif sosial fokus kepada fihak kewarganegaraanfl dan mengetahui ficara bagaimana organisasi atau kelembagaan-kelembagaan sosial menindas difabelfl (Marks, 1999, hal. 77). Perspektif ini bekerja untuk membuat segala prasangka sosial yang negatif terhadap difabel nampak lebih jelas bagi kita agar supaya kita dapat lebih mempromosikan penerimaan seluruh difabel ke dalam dunia sosial demi membuat kehidupan umat manusia lebih inklusif.Dalam perspektif sosial, diskriminasi terhadap individu difabel, yang kadang-kadang disablism (disabelisme), dipandang sebagai mirip dengan seksisme, rasisme, homofobia, dan ageisme sebagai penindasan dari kelompok-kelompok tertentu berdasarkan memahami konstruksi sosial yang menindas difabel selama ini harus digunakan untuk mengurangi berbagai ‚ketidakberuntungan™ yang sudah diciptakan oleh pandangan bahwa diri individulah yang tidak mampu akibat adanya ‚gangguan fungsi tubuh dan mental™. Tatanan sosial harus diubah melalui perbaikan cara pandang akan disabilitas demi menjamin terciptanya kesetaraan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya bagi semua orang (Silvers, 1998).Meskipun mungkin kekurangan dalam perspektif sosial disabilitas telah dikemukakan (Corker & French, 1999; Thomas, 1999), tampaknya pendekatan sosial ini mulai berkembang pesat sosial sebagai hal yang sangat penting. Salah satu pendekatan ahli itu adalah yang menekankan peran pelabelan dalam konstruksi sosial disabilitas, yang melihat disabilitas sebagai filabel sosial yang negatiffl yang diterapkan oleh sejumlah orang [di banyak daerah bahkan kebudayaan] kepada orang lain dengan efek yang meminggirkan difabel [baik] secara sosial [maupun politik]fl (Riddell, 1996, hal. 86). Perspektif ini memandang disabilitas sebagai ciptaan langsung dari eksklusi atau pengabaian sosial melalui ‚pelabelan™, baik melalui sarana hukum, kebijakan, maupun standar sosial. Selain itu, ilmuan lainnya telah menegaskan akan pentingnya ‚fungsi sosial™ dalam

PAGE – 8 ============
Vo. 1 No. 2 Juli 2015 adalah person yang tidak mampu membuat kebijakan KPU untuk menyiapkan pendamping dan secara tidak sadar sebenarnya telah berlaku mendisabelkan difabel yang dalam konteks tertentu sebenarnya mereka telah berlaku diskriminatif terhadap difabel.Persoalan konsep dan terminologi disabilitas di Indonesia masih merupakan persoalan pelik yang sejauh ini belum merata pemahamannya. Bagi banyak orang di Indonesia, Disabilitas masih selalu dipandang sebagai sekadar soal individu seseorang berdasarkan kondisi tubuh dan pikirannya. Saat ini ada beberapa istilah yang dipakai dalam percakapan sehari-hari, yakni penyandang cacat, difabel, penyandang disabilitas, berkebutuhan khusus, penyandang masalah kesejahteraan sosial, kebiasaannya, misalnya di Makassar to kandala atau si kusta dan di Jawa si buntung, si pengkor, cah panti (anak yang tinggal di Panti) dan lain sebagainya.Secara internasional, penamaan yang dipakai adalah disabled person, person with disabilities, person with difabilities, dan beberapa lainnya sesuai konteks negaranya. Organisasi Kesehatan Dunia memakai istilah person with disabilities dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan terbitnya sebuah konvensi, yakni Convension on Rights of Persons with Disabilities sekaligus mengganti UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat. Di Indonesia, kesalahan memahami disabilitas sebagai sesuatu yang sakadar merujuk pada individu merupakan kesalahan yang dipraktikkan berpuluh tahun lamanya. Sejak lama, negara ini menyebut mereka ‚cacat™. Di zaman Orde lama mereka disebut ‚penderita cacat™ dan di zaman Orde hanya disematkan kepada barang yang rusak. Manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan makhluk sosial bukanlah kreasi yang rusak. Sebagai ciptaan ia sempurna, sebagai makhluk sosial ia punya kemampuan yang berbeda. Dahulu dan bahkan masih terjadi saat ini, seseorang karena disebut ‚cacat™ atau ‚sakit™ maka ia perlu direhab di panti rehabilitasi dan dibedakan secara sosial baik di ranah pendidikan, ranah kesehatan, dan tentu saja di ranah hukum dan politik (Wawancara Menguatnya wacana ‚penyandang cacat™ di Indonesia pada era 1990-an sesungguhnya memperkenalkan konsep perbedaan kemampuan atau ‚ differently able™ yang kemudian secara luas dikenal sebagai difabel (pengindonesiaan dari akronim dif-able). Istilah penyandang disabilitas ‚difabel™ menyebutkan bahwa istilah penyandang disabilitas tak lebih dari sekadar penghalusan dari kata penyandang cacat yang selama ini sesungguhnya sangat kental dengan perspektif medik yang menganggap tubuh difabel sebagai tubuh yang sakit sehingga harus dibantu dengan berbagai model kebijakan yang charity based.Jumlah difabel di Indonesia secara pasti tidak diketahui, jika merujuk pada TNP2K, maka jumlahnya 10% dari total populasi (TNP2K 2012). Namun jika merujuk pada data ‚World Report on

PAGE – 9 ============
135Jurnal The Politics Disability (WHO 2012), di Negara berkembang seperti Indonesia, jumlahnya mencapai lebih 15%. 3 Dengan konsep dan terminologi yang berbeda-beda, BPS, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Sosial masing-masing mempresentasikan data yang tidak seragam. Implikasinya adalah menumbulkan kesulitan menjadikan sebagai bahan acuan untuk formulasi disabilitas. Jika merujuk pada ICF saja, maka ada begitu banyak jenis keragaman disabilitas yang dibedakan berdasarakan Kategori intelektual, Kategori Mobilitas, Kategori Komunikasi, Kategori and practice in childhood disability.fl (2003). Untuk itulah, makna disabilitas penting dipahami bersama. Disabilitas, menurut Schneider adalah sebuah capaian dari interaksi antara ‚seseorang dengan kondisi kesehatan tertentu™ dengan ‚konteks atau lingkungan di mana seseorang itu berada™. Lebih lanjut Menurut Schneider, dalam upaya kita memahami disabilitas, maka disabilitas tidak sekadar merujuk kepada individu seseorang. fidisability should be understood by looking at levels of physical and personal functioning and how this interacts with environmental factors fl (Schneider, 2006). Hal ini karena ada dua konteks dalam pengertian di atas, yakni konteks eksternal dan internal seseorang. Konteks eksternal adalah lingkungan sosial, budaya, politik yang tidak aksesibel dengan orang tersebut. Lingkungan sosial ini bisa dalam bentuk pengetahuan atau mitos yang mendiskreditkan seseorang, budaya yang diskriminatif, kebijakan sosial yang tidak sensitif terhadap disabilitas dan lain sebagainya. Sedangkan konteks internal menyangkut usia seseorang, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keterampilan, dan kepribadian seseorangfl. Di Indonesia, faktor-faktor lingkungan inilah yang sesungguhnya seringkali justru lebih dominan dalam menciptakan seseorang menjadi difabel (disabled).Jadi, jika seseorang, karena struktur dan fungsi tubuhnya tidak lengkap sebagaimana atau seseorang membutuhkan sejumlah alat bantu. Pun demikian, jika karena kondisi tubuh/mental/ begitu ia memutuskan berpartisipasi dalam ranah publik, ia tentu membutuhkan dukungan sosial. Jika memilih wakil rakyat adalah hak bagi setiap orang dewasa, maka apakah infrastruktur bagi transportasi publik memungkinkan dirinya yang berkursi roda dapat tiba ke lokasi pencoblosan menuju TPS dan bilik suara juga ia bisa lalui secara mudah sebagaimana pemilih-pemilih lainnya Meskipun di Indonesia wacana disabilitas dalam perspektif yang lebih positif masih merupakan impian yang harus diraih, sesungguhnya pemahaman manusia tentang disabilitas sudah berkembang kearah kemajuan. Pada dekade 80 dan 90-an, Nagi, IOM, dan WHO memperkenalkan konsep disabilitas yang bersandar pada cara pandang ‚patologi™ dan ‚penyakit™. Ketiga ragam pemahaman itu membagi tiga level pengertian, yakni level organ tubuh, level personal, dan 3 Data Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa disabilitas telah mencapai sekitar 15% dari total pen -duduk di Negara-negara dunia. sedangkan di Indonesia, jumlah difabel diperkirakan mencapai 36. 150. 000 orang; sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang penduduknya mencapai 241 juta jiwa. Sebelumnya, 400 (13%), tuna rungu 503. 200 (34%), mental dan intelektual 348. 800 (26%), dan orang yang pernah mengalami penyakit kronis (kusta dan tuberklosis) 236. 800 (16%). Jumlah angka ini diperkirakan jumlah difabel yang tinggal dengan keluarga atau masyarakat, dan belum termasuk mereka yang tinggal di panti asuhan (Data-data ini secara kes –

PAGE – 10 ============
136Vo. 1 No. 2 Juli 2015 level sosial. Pada level organ, tubuh yang tak lengkap karena alasan patologi atau penyakit mereka sebut ‚impairment™. Sedangkan pada level personal seseorang, baik Nagi maupun IOM menggunakan istilah keterbatasan fungsional akibat struktur tubuh yang impairment tadi. WHO sendiri menyebutnya disabilitas. Pada level ketiga atau level sosial, Nagi dan IOM menyebutnya disabilitas, sedangkan WHO menyebutnya handicap. Pembedaan pemahaman atau konsep dan terminologi ini ke dalam 3 level merupakan cara untuk menghindari kesan negatif atau stereotif dari masyarakat kepada seseorang (lihat Whiteneck, Gale. fiConceptual models of disability: past, present, and future.fl Workshop on disability in America: A new look . Washington DC: The National yang menyebut mereka sebagai ‚penyandang cacat™. Dengan menapikan aspek sosial, dampak dari peristilahan dan pemahaman yang keliru ini maka pendekatan pembangunan di Indonesia menjadi lebih ‚charity™ ketimbang ‚pemberdayaan™ dalam arti sesungguhnya. Seiring perkembangan waktu dan pengalaman menerapkan konsep dan terminologi ini di ranah praktis atau kebijakan, penyempurnaan atas konsep itu berkembang ke arah lebih baik. Kini, dimulai sejak 1997 oleh IOM dan 2001 oleh WHO muncul domain baru dalam upaya memahami seorang manusia yang memiliki perbedaan struktur dan fungsi tubuh, yakni domain ‚faktor impairment berubah menjadi struktur dan fungsi tubuh (level 1 [organ]). Di level 2 (person) sebelumnya disebut keterbatasan wilayah publik/sosial. pada bagaimana faktor lingkungan semisal sistem pengetahuan, ajaran agama, paradigma, dst dan faktor personalitas seseorang terkait usia, jenis kelamin, orientasi seksual, kepribadian dan seterusnya, memperlakukan seseorang. Jika menggunakan konsepsi WHO di atas di mana aspek kesehatan masih menjadi salah satu aspek dalam memahami kehidupan disabilitas, maka gambaran disabilitas kurang lebih sebagai berikut.Fungsi dan struktur tubuh difabel adalah mencakup jenis-jenis impairment atau gangguan fungsi tubuh dan mental. Misalnya seseorang baru saja mengalami operasi amputasi lengan atau membutuhkan alat-alat bantu semisal kruk, kaki palsu, atau kursi roda dan tentu saja sejumlah ranah publik. Partisipasi difabel mencakup jenis dan tingkat partisipasi di luar rumah, bagaimana orang-orang kemudian memperlakukan atau menerimanya secara sosial. Contohnya, bagaimana ia menuju mesjid atau gereja untuk beribadah. Bagaimana ia menuju lokasi kantornya saat hendak bekerja, lingkungan kantornya dan perlakukan rekan-rekan kerjanya dan tentu saja kebijakan kantor dan seterusnya dengan beragam jenis partisipasi, apakah partisipasi ekonomi, pendidikan, dan tentu saja politik. Setelah itu, perhatikan lagi bagaimana Faktor Lingkungan difabel yang mencakup: kondisi lingkungan, sistem pengetahuan, budaya, keyakinan warga, dan sebagainya. Sedangkan pada Faktor Personal difabel akan meliputi faktor usianya, jenis kelaminnya, orientasi seksualnya, pandagan hidupnya, latar pengetahuan dan pengalamannya dan lain sebagainya

PAGE – 11 ============
137Jurnal The Politics Pemilu, Politisi, dan Pemilih DifabelDalam konteks pemilihan umum, dua aktor yang berjibaku dalam ruang-ruang partisipasi adalah politisi (legislator dan calon legislator) dan pemilih (dalam hal ini pemilih difabel). Relasi antar keduanya penting dipelajari, seperti bagaimana calon legislator atau politisi memahami difabel dan memandang seluk beluk penghidupan mereka baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks yang lebih luas, yakni kehidupan sosial dan politik dan demikian sebaliknya. merupakan salah satu upaya untuk memahami relasi tersebut.Survei ini berlangsung sepanjang Desember 2013 – Januari 2014 ini menelusuri, [1] Pemahaman calon legislator menyangkut istilah atau peristilahan difabel meliputi ‚penyandang cacat™, ‚penyandang disabilitas™, dan ‚difabel™. [2] Pemahaman calon legislator menyangkut jenis- jenis difabel dalam lingkungan sosial-politik calon legislator. [3] Bentuk interaksi sehari-hari antara calon legislator dengan pemilih difabel. [4] Pemahaman calon legislator menyangkut 10 sektor kebijakan sosial. [5] Keberpihakan calon legislator terhadap warga difabel dalam partai politik dan peluang terbangunnya kontrak politik dengan difabel.Dengan memahami kelima aspek di atas, maka akan tergambar bagaimana perspektif difabel dalam diri calon legislator dan dapat memberi gambaran bagaimana tingkat kemampuan mereka dalam menjalankan fungsi-fungsi wakil rakyat di masa mendatang. Hasil penelitian ini juga akan memberi gambaran bentuk relasi antara anggota legislator – difabel secara kelembagaan, DPRD dengan Organisasi difabel di 4 daerah. Survei ini menggunakan metode sampling ‚Model Slovin™ dengan rumus ‚jumlah sampel = jumlah populasi di bagi [dari hasil penjumlahan] 1 + jumlah populasi dikalikan batas toleransi kesalahan [0,07]. Tingkat akurasi survei adalah 93%. Unit populasi dalam penelitian ini adalah besaran Jumlah Daftar Calon Tetap (DCT) DPRD di 4 kota. Setelah mengetahui jumlah populasi maka Hasil penghitungan sampel dengan model Slovin menghasilkan jumlah responden sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah.

122 KB – 30 Pages